Sabtu, 23 April 2016

Meninjau Reklamasi Teluk Jakarta dari Berbagai Aspek Bagian I : Aspek Sejarah Part 1

Seperti yang kita ketahui salah satu berita yang sedang heboh akhir-akhir ini yaitu berita ‘Pro dan Kontra Reklamasi Teluk Jakarta’. Dengan ramainya perselisihan antara pihak pelaksana reklamasi yaitu Pemerintah Provinsi Jakarta dengan pihak oposisi yang merupakan campuran dari elemen-elemen masyarakat Jakarta khususnya sekitar daerah reklamasi dan pihak-pihak lainnya yang merasa dirugikan akibat adanya reklamasi ini.
                Reklamasi memang mempunyai banyak dampak negatif maupun positif. Dalam hal seperti inilah kita sebagai orang yang berpendidikan harus mempelajari tentang reklamasi Teluk Jakarta dari berbagai aspek yang ada.
                Pertama apa yang dimaksud reklamasi itu? Reklamasi dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti 2 usaha memperluas tanah (pertanian) dengan memanfaatkan daerah yang semulan tidak berguna (misalnya dengan cara menguruk daerah rawa-raw); 3 pengurukan (tanah). Dalam hal ini, kita dapat mengartikan reklamasi sebagai kegiatan pengurukan kawasan perairan dengan menggunakan tanah (dapat berupa pasir) sehingga membentuk daratan baru yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti pertanian, perumahan, maupun wisata.
                Reklamasi di daerah pesisir Jakarta Utara sudah dimulai pada tahun 1980-an, pada awalnya PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan penimbunan dan digunakan sebagai kawasan pemukiman mewah Pantai Mutiara. Pada tahun 1981, PT Pembangunan Jaya telah melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara sebagai kawasan industri dan rekreasi. Berlanjut ke tahun 1991, Hutan Bakau Kapuk telah direklamasi untuk kepentingan pemukiman yaitu kawasan pemukiman mewah Pantai Indah Kapuk dan pada tahun 1995 juga dilakukan reklamasi untuk kepentingan industri yaitu kawasan Berikat Marunda.
                Pada saat itu, kegiatan reklamasi di empat lokasi tersebut sudah menimbulkan perdebatan. Sejumlah pihak menuduh reklamasi Pantai Pluit mengganggu sistem PLTU Muara Karang. Diduga, ini terjadi akibat adanya perubahan pola arus laut di areal reklamasi Pantai Mutiara yang berdampak terhadap mekanisme arus pendinginan PLTU.
                Bukan hanya itu, tenggelamnya sejumlah pulau di perairan Kepulauan Seribu diduga akibat dari pengambilan pasir laut untuk menimbun areal reklamasi Ancol. Namun, dampak negatif tersebut tidak diindahkan. Upaya reklamasi dipilih untuk menambah luas daratan ibu kota negara.
Hal ini didukung oleh dikeluarkannya Keppres No.52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta oleh Presiden Soeharto dengan tujuan reklamasi seluas 2.700 hektar. Dan dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1997 Bappenas menggeluarkan Keputusan Ketua Bappenas No. KEP.920/KET/10/1997 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta.
Namun, munculnya dua kebijakan ini “menabrak” Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985 – 2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan mengenai rencana reklamasi.
Description: http://assets.kompas.com/data/photo/2016/04/04/0945406reklamasi-ilus1780x390.jpg
Litbang Kompas
Description: http://assets.kompas.com/data/photo/2016/04/04/0946564reklamasi-ilus2780x390.jpg
Litbang Kompas
Sejak saat itu, terjadi “perang : aturan anatara Pemprov DKI Jakarta dan Kementrian Lingkungan Hidup. Kementrian lingkungan hidup menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak dilakukan karena akan merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI Jakarta bersikeras agar reklamasi tetap dilakukan.
Pada tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa proyek reklamasi tidak dapat dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan. Ketidaklayakan disampaikan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.
Surat keputusan tersebut tidak dapat menghentikan langkah Pemprov DKI. Pada tahun 2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Mereka beralasan sudah melengkapi semua persyaratan untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan berbagai izin lainnya. PTUN memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap memenangkan gugutan keenam perusahaan tersebut. Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.
Description: http://assets.kompas.com/data/photo/2016/04/04/0947384reklamasi-pro780x390.jpg
Litbang Kompas
Description: http://assets.kompas.com/data/photo/2016/04/04/0948120reklamasi-ilus3780x390.jpg
Litbang Kompas
Bersambung...

Sumber Refrensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar