Seperti yang kita ketahui salah
satu berita yang sedang heboh akhir-akhir ini yaitu berita ‘Pro dan Kontra Reklamasi Teluk Jakarta’.
Dengan ramainya perselisihan antara pihak pelaksana reklamasi yaitu Pemerintah
Provinsi Jakarta dengan pihak oposisi yang merupakan campuran dari
elemen-elemen masyarakat Jakarta khususnya sekitar daerah reklamasi dan
pihak-pihak lainnya yang merasa dirugikan akibat adanya reklamasi ini.
Reklamasi
memang mempunyai banyak dampak negatif maupun positif. Dalam hal seperti inilah
kita sebagai orang yang berpendidikan harus mempelajari tentang reklamasi Teluk
Jakarta dari berbagai aspek yang ada.
Pertama
apa yang dimaksud reklamasi itu? Reklamasi dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) berarti 2 usaha
memperluas tanah (pertanian) dengan memanfaatkan daerah yang semulan tidak
berguna (misalnya dengan cara menguruk daerah rawa-raw); 3 pengurukan (tanah). Dalam hal ini,
kita dapat mengartikan reklamasi sebagai kegiatan pengurukan kawasan perairan
dengan menggunakan tanah (dapat berupa pasir) sehingga membentuk daratan baru
yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti pertanian, perumahan,
maupun wisata.
Reklamasi
di daerah pesisir Jakarta Utara sudah dimulai pada tahun 1980-an, pada awalnya
PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan
penimbunan dan digunakan sebagai kawasan pemukiman mewah Pantai Mutiara. Pada
tahun 1981, PT Pembangunan Jaya telah melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi
utara sebagai kawasan industri dan rekreasi. Berlanjut ke tahun 1991, Hutan
Bakau Kapuk telah direklamasi untuk kepentingan pemukiman yaitu kawasan
pemukiman mewah Pantai Indah Kapuk dan pada tahun 1995 juga dilakukan reklamasi
untuk kepentingan industri yaitu kawasan Berikat Marunda.
Pada
saat itu, kegiatan reklamasi di empat lokasi tersebut sudah menimbulkan
perdebatan. Sejumlah pihak menuduh reklamasi Pantai Pluit mengganggu sistem
PLTU Muara Karang. Diduga, ini terjadi akibat adanya perubahan pola arus laut
di areal reklamasi Pantai Mutiara yang berdampak terhadap mekanisme arus
pendinginan PLTU.
Bukan
hanya itu, tenggelamnya sejumlah pulau di perairan Kepulauan Seribu diduga
akibat dari pengambilan pasir laut untuk menimbun areal reklamasi Ancol. Namun,
dampak negatif tersebut tidak diindahkan. Upaya reklamasi dipilih untuk
menambah luas daratan ibu kota negara.
Hal ini
didukung oleh dikeluarkannya Keppres No.52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara
Jakarta oleh Presiden Soeharto dengan tujuan reklamasi seluas 2.700 hektar. Dan
dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1997 Bappenas menggeluarkan Keputusan
Ketua Bappenas No. KEP.920/KET/10/1997 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan
Pantai Utara Jakarta.
Namun,
munculnya dua kebijakan ini “menabrak” Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta
1985 – 2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan mengenai rencana
reklamasi.
Litbang
Kompas
Litbang
Kompas
Sejak saat
itu, terjadi “perang : aturan anatara Pemprov DKI Jakarta dan Kementrian
Lingkungan Hidup. Kementrian lingkungan hidup menyebutkan bahwa reklamasi tidak
layak dilakukan karena akan merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI Jakarta
bersikeras agar reklamasi tetap dilakukan.
Pada tahun
2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa proyek reklamasi tidak
dapat dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang
dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan. Ketidaklayakan
disampaikan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang
Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.
Surat
keputusan tersebut tidak dapat menghentikan langkah Pemprov DKI. Pada tahun
2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan
Hidup ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Mereka beralasan sudah melengkapi
semua persyaratan untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan berbagai
izin lainnya. PTUN memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Kementerian
Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap
memenangkan gugutan keenam perusahaan tersebut. Kementerian Lingkungan Hidup
lalu mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan
kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.
Litbang
Kompas
Litbang
Kompas
Bersambung...
Sumber Refrensi :